Bertanam Kayu Jabon
Oleh karenanya tidak mengherankan areal tanam jabon makin lama makin berkembang seiring dengan pemahaman masyarakat akan keuntungan bertanama jabon. Namun dengan semakin banyaknya areal bertanam jabon akan menimbulkan pertanyaan, akankah untung para petani atau investor yang menanam pohon jabon ? sanggupkah pasar kayu mampu menyerap produksi kayu jabon 5-6 tahun kedepan ?
Menurut data dari Kementerian Kehutanan memperlihatkan bahwa total kebutuhan kayu nasional setiap tahun rata-rata mencapai 43 juta m3, dan sebagian kebutuhan kayu tersebut diperoleh dari penebangan kayu hutan sebesar 9,1 juta m3 (21%) sisanya diperoleh dari produksi kayu hutan tanaman industri (HTI), Perhutani dan perkebunan rakyat. Kondisi ini sebenarnya jauh dari ideal karena permintaan kayu nasional ini belum dapat ditutupi dengan suplai yang ada. Dengan situasi ini kita mendapatkan gambaran bahwa kebutuhan kayu nasional masih tetap besar disamping ketersediaan kayu dari hasil hutan akan semakin berkurang oleh karenanya perlu diversifikasi produksi kayu nasional termasuk pengembangan produksi kayu dari HTI dan perkebunan rakyat.
Menurut informasi dari pelaku usaha industri pengolahan kayu, bertanam jabon akan tetap untung karena permintaan kayu akan tetap tinggi bahkan akan semakin naik dari tahun ke tahun. Jadi menanam jabon tidak perlu khawatir akan kesulitan memasarkan produksi kayu jabon kelak bila panen kayu jabon telah tiba, selain itu juga karena biaya pemeliharaan jabon tergolong rendah. Sehingga pekebun akan tetap untung bila harga kayu melorot turun. Biaya pemeliharaan pohon jabon selama 5 tahun untuk area tanam seluas satu hektar dengan jumlah populasi sebanyak 800 pohon hanya membutuhkan dana pemeliharaan sebesar Rp. 5,96 juta (Rp. 7.456 /pohon).
Dari perhitungan kasar saja hasil panen untuk satu hektar dengan 800 pohon tersebut diperkirakan akan menghasilkan produksi kayu sebanyak 200 m3. Total penerimaan pekebun dengan asumsi harga kayu 1 m3 saat ini yang berkisar Rp 900.000 pekebun akan menerima keuntungan pemasukan kotor sebesar Rp. 180.000.000. Sebuah keuntungan yang cukup menggiurkan karena dipotong biaya pemeliharaan yang relatif rendah (Rp. 5,96 juta).
Agar keuntungan semakin tinggi maka perlu upaya diversifikasi produksi dari lahan tanaman pohon jabon, misalnya dengan melakukan penanaman tanaman tumpangsari disekitar areal tanam sehingga akan semakin menambah penerimaan pekebun. Beberapa pekebun yang sudah menerapkan metode ini dengan menanam beberapa jenis tanaman semusim atau palawija misalnya: kedelai, kacang ijo, jagung, cabai, ketimun, lengkuas dan kencur dll. Penanaman tanaman sela diantara pohon jabon ini dilakukan untuk menutup biaya pemeliharaan sebelum jabon dipanen selain menambah pundi keuntungan para pekebun. Bila pohon jabon semakin tinggi masih bisa dilakukan tumpangsari dengan menanam tanaman lainnya selain palawija misalnya pisang maupun rimpang-rimpangan seperti kencur, lengkuas, jahe.
Dengan semakin tingginya pemahaman masyarakat akan keuntungan bertanam jabon maka tidak mengherankan akan meningkatkan areal tanam tanaman tersebut sekaligus menambah pilihan khasanah produksi kayu nasional. Dari produksi kayu hasil HTI ataupun perkebunan rakyat diharapkan akan semakin mengurangi produksi kayu hutan sekaligus akan meningkatkan kemakmuran masyarakat baik baik investor dan petani.
Bagi yang berminat mengebunkan jabon ada beberapa penyedia bibit tanaman jabon :
Jabonkendal.com
asaforest.com
indonetwork.co.id/alloffers/jabon-merah.html